XII IA2 MA Futuhiyyah 2

Selasa, 08 Mei 2012

keuntungan dan kekurangan dari media tiga dimensi 

Adapun kelebihan dan kekurangan media tiga dimensi, sebagai berikut:
  1. Model Padat
  1. Kelebihan dari model padat
  1. Dapat memberikan pengalaman secara langsung
  2. Dapat dibuat dengan biaya yang murah
  3. Dapat mengembangkan konsep realisme siswa
  1. Kekurangan dari model padat
  1. Tidak dapat menjangkau sasaran dalam jumlah besar.
  2. Anak tuna netra sulit untuk mengaplikasikannya.
  1. Model Penampang
  1. Kelebihan dari model penampang
  1. Dapat memberikan pengalaman secara langsung.
  2. Hasil belajar lebih mendalam dan mantap.
  3. Dapat mempermudah pehaman karena merupakan pengganti obyek yang sesungguhnya.
  4. Dapat dibuat dengan biaya yang relatif murah.
  5. Belajar dapat difokuskan pada bagian yang penting-penting saja
  1. Kekurangan dari model penampang
  1. Tidak dapat menjangkau sasaran dalam jumlah yang banyak.
  2. Penyimpanan memerlukan ruang dan perawatan.
  3. Anak tunanetra sulit membandingkannya.
  4. Jika membeli alat perga membutuhkan biaya yang besar.
  1. Model susun
  1. Kelebihan dari model susun
  1. Memberikan pengalaman secara langsung.
  2. Penyajian secara kongkrit dan menghindari verbalisme.
  3. Dapat menunjukkan objek secara utuh baik kontruksi maupun cara kerjanya.
  4. Dapat memperlihatkan struktur organisasi secara jelas.
  5. Dapat menunjkkan alur suatu proses secara jelas.
  1. Kekurangan dari model susun
  1. Tidak bisa menjangkau sasaran dalam jumlah besar.
  2. Anak tuna netra sulit untuk membandingkannya.
  3. Penyimpanannya memerlukan ruang yang besar dan perawatan yang rumit.
  1. Model Kerja
  1. Kelebihan dari model kerja
  1. Memberikan pengalaman secara langsung.
  2. Dapat menunjukkan objek secara utuh baik cara kerjanya.
  3. Dapat memperlihatkan struktur organisasi secara jelas.
  4. Dapat menunjukkan alur suatu proses secara jelas.
  1. Kekurangan dari model kerja
  1. Tidak dapat menjaangkau sasaran dalam jumlah besar.
  2. Penyimpanannya memerlukan ruang yang besar dan perawatan yang rumit.
  3. Untuk membuat alat peraga ini membutuhkan biaya yang besar.
  4. Anak tunanetra sulit untuk mengaplikasikannya secara sempura.

  1. Mock-up
  1. Kelebihan dari model mock-up
  1. Memberikan pengalaman secara langsung
  2. Dapat menunjukkan obyek secara utuh secara utuh baik kontruksi maupun cara kerja
  3. Dapat memperlihatkan struktur organisasi secara jelas
  4. Dapat menunjukkan alur suatu proses secara jelas
  1. Kekurangan dari model mock-up
  1. Tidak dapat menjangkau sasaran dalam jumlah besar
  2. Penyimpanannya memerlukan ruang yang besar dan perawatan yang rumit
  3. Untuk membuat alat perga membutuhkan biaya yang besar
  4. Anak tunanetra sulit untuk membandingkannya
  1. Diorama
  1. Kelebihan dari model diorama
  1. Untuk memberikan pemandangan/gambaran visual dari pokok yang sebenarnya dalam bentuk kecil.
  2. Membawa ke dalam kelas sebagian kecil dari pada dunia dalam bentuk diperkecil dan tiga dimensi.
  3. Dapat menggambarkan peristiwa yang terjadi disuatu tempat, waktu tertentu dilihat ari posisi atau arah tertentu pula secara lebih hidup
  1. Kekurangan dari model diorama
  1. Tidak dapat menjangkau sasaran dalam jumlah besar.
  2. Dalam pembuatan membutuhkan waktu dan biaya .
  3. Dan membutuhkan kreativitas guru maupun siswa.

Kamis, 29 Desember 2011

Kamis, 15 Desember 2011

IBNU KHALDUN (732-808 H/1332-1406 M)

DI AKUI SEBAGAI KALIBER INTERNASIONAL

Nama lengkap Ibnu Khaldun adalah Waliyuddin Abdurrahman Ibnu Mahammad Ibnu Muhammad Khaldun Alhadlrami. Beliau dilahirkan di Tunisia pada tahun 732 H/1332 M. Gurubeliau yang pertama adalah ayah beliau sendiri. Tunisia merupakan markas ulama dan sastrawan di Magrib, tempat berkumpul ulama Andalusia yang lari akibat berbagai peristiwa. Dari mereka Ibnu Khaldun mempelajari ilmu syar‘i dan retorika. Beliau mahir dalam bidang syair, filsafat dan manthiq (logika), sehingga dengan demikian beliau dikagumi oleh guru-gurunya.

Dalam buku-bukunya, beliau memngungkapkan rasa terimakasih dan menyatakan kekaguaman serta pujiannya terhadap guru-gurunya, terutama Muhammad bin Abdul Muhaimin bin Abdul Muhaimin Al-Hadhrami yang darinya beliau mempelajari ilmu fiqih, hadist, sirah dan ilmu-ilmu bahasa; dan terhadap Abu Abdilallah Muhammad Bin Ibrahim Al-Abili yang darinya dia mempelajari ―dua sumber ajaran Islam (Al-Quran dan Sunnah Rasul), mantiq, serta seni-seni hikmah dan mendidik.

Pada tahun 749 H. wabah penyakit ta‘un melanda sebagian dunia dari timur sampai kebarat, sehingga Ibnu Khaldun yang ketika itu berusia 18 tahun kehilangan kedua orang tuanya. Tersebarnya wabah tersebut telah menyebabkan sebagian ulama dan sastrawan yang selamat daripadanya untuk berhijrah dari Tunisia ke Magribi Jauh. Dengan demikian, Ibnu Khaldun berhalangan untuk terus menekuni belajar sebagaimana dilakukan oleh bapaknya dahulu. Oleh karena itu, berubahlah arus perjalanan hidupnya. Setelah membulatkan tekadnya untuk tekun menuntut ilmu dan pendidikan kepada ulama dan sastrawan terbesar pada masanya, beliau segara mencari salah satu pekerjaan umum di dalam Negara.

Pada tahun 751 H/1350 M., Ibnu Khaldun ditempatkan dalam pekerjaan Kitabatul ‗Allamah, sebuah jabatan sekretaris di istana Abu Ishaq bin Abu Yahya, seorang amir kecil yang diangkat oleh Muhammad bin Tapirakin untuk menggantikan saudaranya, Al-Fadhal. Sang pangeran kecil ini diasuh oleh mentri Muhammad dan ditindasnya dengan sewenang-wenang.

Pada tahun 753 H., Amir Konstantinovel, Abu Zaid, cucu Sultan Abu Yahya Al-Hafashi berhasil menguasai Tunisia dan merebutnya dari kekuasaan 7 Ibnu Tapirakin. Dengan demikian Ibnu Khaldun melarikan diri dari pasukan Tapirakin yang kalah itu, agar dapat menyelamatkan dirinya. Beliau berkelana mengelilingi negeri itu hingga akhirnya menetap di Biskira unutk beberapa waktu lamanya. Setelah itu beliau diangkat oleh Sultan Abu Annan, Raja Magrib Jauh ketika itu, sebagai anggota majlis ilmiah yang didirikannya di Pas, yaitu sekitar tahun 755 H. Setelah itu, Sultan mengangkat beliau sebagai salah seorang sekretarisnya. Selama bermukim di Pas, Ibnu Khaldun kembali tekun belajar kepada ulama dan sastrawan yang menguasai ke Maroko Jauh setelah tersebarnya wabah penyakit ta‘un. Disini beliau mulai tekun kembali membaca, sehingga pengetahuaanya menjadi luas. Kemudian beliau kembali berfikir untuk meninggalkan tugas-tugas negara, menjauhi politik dan memusatkan perhatian kepada ilmu pengetahuan. Hanya saja minatnya untuk memangku jabatan-jabatan besar di dalam Negara telah mendorong beliau untuk meneruskan karirnya sebagai seorang politikus daripada mencurahkan perhatiannya kepada belajar dan ilmu pengetahuan. Sebagai politikus, Ibnu Khaldun tampak bersifat opportunis. Beliau selalu mencari-cari kesempatan dan mengatur strategi untuk mencapai kedudukan yang diinginkannya. Sesuai dengan sifat politik yang selalu dapat menggunakan berbagai cara, maka yang ditempuh beliau itu kurang memperhatikan kelurusan dan kebersihannya. Dalam rangka mencapai keinginan itu, Ibnu Khaldun tidak peduli dengan perlakuannya terhadap lawan politiknya sekalipun orang itu telah berbuat baik kepada beliau.Demikianlah, kita dapatkan Ibnu Khaldun telah melakukan mufakat untuk menggulingkan Abu Annan yang telah menghormati dan memperlakukannya dengan baik. Beliau sepakat dengan Amir Abu Abdillah Muhammad Al-Hafasi yang di saat itu dalam tahanan Abu Annan untuk mengembalikan kekuasaan Amir Abu Abdillah. Beliau mengharapkan agar dirinya diangkat sebagai penguasa urusan Office of Chamberlain. Belum lagi Ibnu Khaldun berhasil dalam mufakat politisnya, Abu Annan telah mengetahui semua rahasia ini, sehingga dia memenjarakan ibnu khaldun pada tahun 758 H. demikianlah ibnu khladun harus puas dengan keadaan penjara selama dua tahun. Ibnu Khaldun baru dikeluarkan dari penjara setelah Abu Annan meninggal dunia. Urusan kekuasaan berubah, dan mentri Abul Hasan Bin Umar merebut singgasana dari keluarga Annan, lalu mengembalikan Ibnu Khaldun kepada tugasnya semula. Demikianlah Ibnu Khaldun selalu mengadakan pendekatan-pendekatan kepada para wali satu demi satu, agar dapat mencapai kedudukan tertinggi. Kemudian mengatur bebagai daya agar para wali memuliakan dirinya. Dalam peristiwa-peristiwanya ini, beliau memangku jabatan sekitar penguasa Office of Chamberlain dan peradilan. Di samping itu, beliau banyak menggubah syair dan qashidah dalam rangka memuji para raja dan gubernur sebagai siasat berpolitik. Dia menetap di Magrib. Hanya saja data kronologis pernikahan beliau tidak diketahui dengan pasti. Boleh jadi beliau menikah ketika berada di Biskirah, Aljazair, sekitar tahun 754 H.. Ibnu Khaldun telah memilih Granada, salah satu kota di Andalusia, sebagai tempat bermukimnya. Yang demikian itu disebabkan karena persahabatannya dengan Sultan Granada ketika itu dan menterinya yang dikenal dengan nama Ibnul Khatib. Sesudah itu, Sultan mengangkatnya untuk menjadi duta antara dia dengan Raja Castile. Maka berangkatlah Ibnu Khaldun ke Sevilla dan berhasil menjalankan tugas kedutaannya, sehingga Sultan memuliakannya dan memberikan perhatian khusus kepadanya. Akibatnya, menteri ibnul khatib menjadi dengki dan ibnu khaldun merasakan kemarahan sang menteri, lalu meminta izin untuk meninggalkan Andalusia. Maka berangkatlah ibnu khaldun untuk meninggalkan Andalusia menuju Bougie pada tahun 766 H., yakni setelah menetap di Andalusia selama dua tahun. Di Bougie, beliau diangkat oleh amir untuk menjadi chamberlain (sebutan pegawai tinggi istana) yang merupaka kedudukan tertinggi di dalam Negara.

Ibnu khaldun menggambarkan aktivitasnya pada masa itu di dalam ―At-Ta‘rif‖: ―. . . sultan telah memerintahkan kepada para pejabat Negara untuk mendahului aku pergi ke kantor. Aku memangku pekerjaannya secara mutlak. Aku mencurahkan tenagaku dalam mengatur segala urusannya dan mengendalikan roda kesultanannya. Dia memintaku untuk memberikan ceramah di Universitas Qashabah. Di samping itu, seusai mengatur urusan kerajaan di pagi hari, aku tekun mengajarkan ilmu pada waktu siang di Universitas Qashabah. Aktivitas itu tidak pernah aku tinggalkan‖ (At-Ta‘rif bi Ibni Khaldun, hal. 98). 9

Dengan demikian Ibnu Khaldun telah telah memadukan antara kegiatan politik

dengan kegiatan ilmu dalam satu waktu.

Namun aktivitas ini tidak berlangsung lama. Ibnu Khaldun kembali ke

panggung spionisme dan bermain politik bersama para sultan dan umara yang

bermusuhan di Aljazair dan Magrib tengah. Di sini, ceritanya berakhir hingga

beliau melarikan diri dan menyepi untuk belajar di salah satu Rabath. Beliau

berkata:

. . . kemudia aku menuju ke Rabath syaikh Abu Madyan. Aku menetap

bertetangga dengannya untuk menyepi dan mengasingkan diri dalam

menuntut ilmu. Dengan harapan aku dapat mewarisi ilmunya‖ (at-ta‘rif bi

ibni khaldun, hal. 134).

Akan tetapi beliau belum ditakdirkan untuk mewarisi ilmu sebagaimana

yang dikehendakinya. Maka beliau kembali bergelut dengan mufakat-mufakat

politis, yang telah membuat seluruh umara dan istana di Magrib mencurigai dan

meragukannya. Maka Ibnu Khaldun meninggalkan kota Pas dan kembali lagi ke

Andalusia pada tahun 776 H.. akan tetapi tidak bisa menetap di sana, karena

Ibnul Ahmar, Sultan Granada mengusirnya dari Andalusia atas permohonan

istana Pas. Maka beliau kembali lagi ke Magrib. Dan pergi ke Telemcen setelah

diberi ampunan oleh Abu Hammu.

Ketika abu hammu meminta agar ibnu khaldun mau berpartisipasi kembali

bersamanya dalam urusan politik, tampak ibnu khaldun mau memenuhi

permintaan ini. Akan tetapi beliau lebih mengutamakan untuk tidak tenggelam

sekali lagi di dalam lapangan politik ini, sehingga beliau pergi kr qal‘ah

(benteng) ibnu salamah dekat telemcen, tempat beliau besrta keluargannya

menetap selama empat tahun. Disana beliau hidup mengasingkan diri untuk

menelaah, membaca dan mengarang. Maka beliau pun menyusun buku

sosiologi-historisnya yang terkenal itu.

Dalam usia 40 tahun, Ibnu Kahldun telah memiliki segudang ilmu

pengetahuan dengan berbagai aspeknya. Hal ini merupakan akibat

pengalamannya antara Negara-negara Magrib dan Andalusia, disamping banyak

membaca dan menelaah dalam setiap kesempatan. Lebih dari itu, Ibnu Khaldun

dikenal sebagai seorang yang berpandangan tajam, berpikiran mendalam, cermat

dan cepat tanggap, serta mampu dalam memerintah dan mengintisarikan 10

perundang undangan. Di samping semua kelebihan dan potensi ini, suatau hal

yang membuat kagum terhadapnya adalah bahwa Ibnu Khaldun telah menyusun

bukunya, ―Muqaddimah‖, dalam waktu yang relativ singkat sekali, sekitar lima

bulan. Setelah ―Muqaddimah‖ beliau segara menyelesaikannya sisa

karangannya yang memuat tulisan tentang sejarah umat-umat yang penting

pada masanya. Karangan beliau ini di dahului dengan bahasan umum tentang

undang-undang masyarakat manusia beserta kondisi-kondisinya. Pembahasan

ini dikenal dengan nama ―Muqaddimah Ibnu Khaldun‖ yang memuat

muqaddimah dan juz pertama dari karangan itu. Setelah muqaddimah,

dilanjutkan dengan kitab kedua yang memuat sejarah bangsa Arab dan bangsa-

bangsa terkenal lainnya semasa mereka, seperti Persia, Bani Israil dan lain-lain,

sejak permulaan khalifah hingga abad ke-8. Selanjutnya disusul dengan kitab

ketiga yang memuat sejarah Barbar ―Beserta para pezinanya dan kaum lelaki‖

(MUQADDIMAH hal. 4-5). Bagian ini ditutup dengan riwayat penulis sendiri

yang dimuat dalam sebuah kitab tersendiri, yaitu: ―At-Ta‘rif bi Ibni Khladun,

Mu‘allifu hadzal Kitab‖ ).

Meskipun Ibnu Khaldun banyak mengandalkan ingatannya yang kuat dan

pengetahuannya yang luas, namun dia merasa perlu kembali kepada kitab-kitab

dan referensi-referensi yang sangat penting guna membantu penulisan buku-

buku sejarah ini. Oleh karena itu beliau mengirim surat kepada Sultan Abul

Abbas yang menjadi sultan Tunisia pada waktu itu, guna meminta maaf

kepadanya atas kesalahan-keslahan yang telah membangkitkan kemarahan

Sultan kepadanya. Sultan menerima alasannya dan membarinya maaf. Dengan

demikian, Ibnu Khaldun kembali ke Tunisia unutk yang pertama kalinya setelah

hijrah darinya sewaktu masih kecil. Sekembalinya ke sana, beliau mencari

keluargannya dan bertemu. Maka mulailah beliau merasakan kehidupan yang

aman dan tentram.

Di Tunisia, kali ini Ibnu Khaldun menggeluti pekerjaan mengajar di

samping tekun merevisi dan memperbaiki karangannya. Akan tetapi pada waktu

itu beliau belum selesai menyempurnakan karangannya ini (sebagaimana

tampak dalam bentuknya yang sekarang), dan baru sempurna setelah beliau

pergi ke Mesir dan bertemu dengan orang-orang Masyrik. Di sana beliau

menambahkan beberapa bab baru dan menamakannya dengan ―Kitabul ‗Ibar wa 11

Diwanul Mubtada‘ Awil Khabar fi Ayyamil ‗Arab wal ‗Ajam wal Barbar wa

Man ‗Asharahum min Dzawis Sulthan Al-Akbar‖.

Ibnu Khaldun telah bosen dengan kehidupan politik yang penuh dengan

mufakat-mufakat jahat, dan beliau telah membulatkan tekad untuk memusatkan

perhatiannya kepada belajar. Karena khawatir bila sultan Abul Abbas

menyeretnya kembali ke dalam kancah politik atau peperangan yang baru,

terbersitlah pikiran untuk menunaikan ibadah haji. Beliau memohon kepada

Sultan Abul Abbas agar mengizinkannya untuk mengadakan perjalanan itu.

Tahun 784 H./1382 H.. beliau mengucapkan selamat berpisah kepada murid-

muridnya dengan ucapan yang paling hangat. Seakan-akan meraka merasakan

bahwa Ibnu Khaldun pergi untuk tidak kembali lagi ke negerinya.

Ibnu Khaldun tiba di Mesir lalu memetap di sana. Beliau tidak jadi

menunaikan ibadah haji yang telah dicita-citakannya. Pikiran untuk menunaikan

ibadah haji itu mungkin dikotori oleh dalih agar Sultan Abul Abbas memberinya

izin untuk meninggalkan Tunisia, supaya beliau dapat melarikan diri dari

kemelut politik yang terjadi di Magrib. Untuk beberapa waktu, Ibnu Khaldun

menetap di Askandaria, lalu menuju Kairo yang telah menjadi pusat kebudayaan

Islam di dunia Arab. Keadaan Kairo yang demikian itu disebabkan para

pemerintahnya ketika mempunyai andil yang sangat besar dalam memajukan

bidang ilmu pengetahuan dan seni juga disebabkan banyak tersebar lembaga-

lembaga pendidikan disana; salah satunya merupakan lembaga pendidikan Islam

terbesar, yaitu Universitas Al-Azhar yang dibangun oleh dinasti Fatimiyah.

Masyarakat Mesir memberikan sambutan yang hangat kepada Ibnu

Khaldun. Hal itu disebabkan Ibnu Khaldun terkenal sebagai seorang

cendikiawan, peneliti dan penulis; mempunyai kepribadian yang kuat; lancar

berbicara, berpikir mendalam dan pandai mengungkapkan kata-kata. Di

Universitas Al-Azhar, Ibnu Khaldun mendapatkan lapangan untuk menyebarkan

pikiran-pikiran beliau. Berdatanganlah para pelajar dan murid untuk menimba

ilmu pengetahuan daripadanya. Di antara mereka yang belajar belajar kepada

beliau atau mendengarkan kuliah-kuliahnya adalah ahli sejarah, Taqiyuddin Al-

Marqizi. Di dalam kitabnya, ―As-Suluk‖, Al-Maqrizi berkata tentang Ibnu

Khaldun: 12

Pada bulan ini (Ramadhan), telah datang kepada kami guru besar kami,

Abu Zaid Abdurrahman bin Khaldun dari negeri Magrib. Dia mengadakan

hubungan dengan Amir Ath-Thanbago Al-Jaubani, kemudian mencari

pekerjaan di Universitas Al-Azhar. Orang-orang menyambutnya dengan

mengaguminya‖ (At-Ta‘rif bi Ibni Khaldun, hal. 248, appendix III).

Ibnu Khaldun berusaha mengadakan pendekatan kepada Raja Mesir ketika

itu. Raja memperlakukan beliau dengan baik, lalu mengangkatnya sebagai guru

untuk mengajarkan fiqih Maliki di Madrasah Al-Qamhiyyah. Segera Ibnu

Khaldun menjalankan tugas mengajar dengan sebaik-baiknya, sehingga orang-

orang menghormatinya serta manghargai ilmu serta potensinya. Suatu ketika

Raja Az-Zahir murka terhadap hakim tertinggi madzhab Maliki pada waktu itu,

sehingga Raja mencopot dari jabatannya dan menggantikannya dengan Ibnu

Khaldun pada tahun 876 H.. Ibnu Khaldun segera menegakkan keadilan syar‘i

dengan tegas dan keras, padahal sebelum kedatangannya keadilan ini selalu

menjadi bulan-bulanan kaum opportunis.

Kekerasan Ibnu Khaldun dalam masalah peradilan telah mengundang

kedengkian terhadapnya, terutama mengingat kedudukannya sebagai Qadhi

Qudhat (hakim tertinggi) di Mesir yang merupakan kedudukan paling agung

dalam negara. Orang-orang Mesir mendengkinya, karena mereka berkeyakinan

bahwa mereka lebih berhak dengan kedudukan itu dari pada Ibnu Khaldun yang

berkebangsaan Magrib tulen. Maka sebagian orang Mesir menuduhnya tidak

mengerti tentang seluk-beluk hukum dan pokok-pokok peradilan. Desas-desus

mengenai dirinya tersebar luas, sehingga beliau merasa sempit. Kesempitan itu

semakin bertambah karena tenggelamnya seluruh keluarga beliau, istri dan

anak-anaknya di Iskandaria. Oleh karena itu, beliau menyatakan keinginannya

untuk keluar dari kedudukannya sebagai Qadhi, lalu dia melepaskannya setelah

satu tahun menjabat. Beliau merasa gembira karenanya, lalu kembali menekuni

kegiata mengajar, membaca dan mengarang. Demikianlah hingga belaiu

menunaikan ibadah haji pada tahun 790 H.

Sekembalinya dari ibadah haji, Raja mendudukannya sebagai Kursiyyul

Hadits di Madrasah Dhar Ghatamsy yang bedampingan dengan Universitas Ibnu

Tulun. Madrash itu didirikan oleh Saifuddin Dhar Ghatamsy sekitar setengah

abad sebelum itu. Ibnu Khaldun memulai pembicaraannya yang pertama di 13

Madrasah itu dengan menguraikan peranan Raja Az-Zhahir Barquq. Raja Az-

Zhahir kemudian mengangkat beliau menjadi guru di Khanikah ―Baibars‖ yang

merupakan Khaniakh sufi terbesar pada waktu itu. Hanya sekitar satu tahun

beliau bergelut dengan pekerjaan itu, kemudian melepaskannya kembali.

Setelah sekitar 14 tahun meninggalkan kedudukannya sebagai Qadhil

Qudhat madzhab Maliki, beliau diangkat kembali untuk memangku kedudukan

itu. Raja Barquq meninggal dunia setelah pengangkata itu dan digantika oleh

putranya, An-Nashir, yang tetap menempatkan Ibnu Khaldun pada

kedudukannya. Akan tetapi Ibnu Khaldun ingin mengadakan pelawatan ke

Baitul Maqdis. Maka beliau meminta izin kepada Raja An-Nashir untuk

mengadakan perlawatan itu, dan diizinkan. Ibnu Khaldun baru kembali ke Mesir

pada akhir tahun 802 H. Akan tetapi beliau melepaskan diri dari jabatannya

sebagai Qadhil Qudhat.

Ketika Timur Lang menyerang Syam pada tahun 803 H/1400 M.,

sedangkan Syam termasuk kerajaan-kerajaan sekutu Mesir, Raja An-Nashir

menghimpun bala tentaranya dan pergi menuju Syam untuk mempertahankan

Damaskus, Ibnu Khaldun turut pergi bersama Raja dalam barisan para Qadhi

dan Fuqaha. Ketika peperangan pecah antara bangsa Mesir dan Tartar, bangsa

Mesir melakukan perlawanan yang gigih, sehingga kedua belah pihak

mengadakan negosiasi perdamaian. Sewaktu negosiasi berlangsung, sebagian

umara bermufakat jahat untuk menggulingkan Raja An-Nashir. Mereka

melarikan diri dari pasukan, menuju Mesir. Sultan mengetahui mufakat jahat itu

dan berhasil menemui mereka. Sedangkan Ibnu Khaldun menetap di Damaskus.

Ibnu Khaldun berusaha mengadakan hubungan dekat dengan Timur Lang.

beliau berusaha merayu Gubernur Al-Muntazhir dan mengadakan hubungan

dari balik benteng tempat Timur Lang beserta balad tentaranya bercokol.

Kemudian Ibnu Khaldun diantarkan oleh para penjaga dan pengawal ke kemah

panglima Tartar tersebut, dan memperlihatkan kesiapannya untuk tunduk dan

takluk. Maka terjadilah pembicaraan antara Ibnu Khaldun bersama Timur Lang

dengan perantaraan penterjemah.

Kemasyhuran Ibnu Khaldun telah menarik perhatian Raja Timur Lang;

begitu pula ilmunya yang luas di bidang sejarah dan geografi, ketajaman

berpikirnya dan kecepatannya dalam berbicara, telah membuatnya kagum 14

terhadapnya. Raja meminta agar Magrib. Permintaan itu dikerjakannya, dan

beliau tetap menjadi tamu Raja selama lebih kurang satu bulan. Ibnu Khaldun

mempersembahkan beberapa hadiah kepada Raja Timur Lang. namun tat kala

tidak berhasil mencapai kedudukan tinggi di istananya, Ibnu Khaldun segera

meninggalkan Damaskus dan kembali ke Kairo.

Setibanya di Mesir, Ibnu Khaldun berusaha untuk kembali memangku

jabatan Qadhil Qudhat. Sultan menempatkannya di situ. Akan tetapi sengketa

tentang jabatan ini masih tetap berlangsung antara beliau dengan peminat

lainnya. Berkali-kali beliau mengundurkan diri dan di angkat kembali dalam

jabatan tersebut sampai enam kali. Namun belum lagi memangku jabatan

tersebut untuk yang ke enam kalinya, beliau telah meninggal dunia pada tahun

808 H/1406 M., dan dimakamkan di pekuburan orang-orang sufi di luar

Babunnashir, Kairo.

Demikianlah, telah berakhir sebuah kehidupan yang penuh dengan cita-

cita yang melonjak-lonjak, berani dan menghanyutkan. Dan mewariskan

kekayaan pikiran yang membuktikan kepandaian, kecemerlangan berpikirnya

dan kemampuannya untuk mengadakan pembaruan dan penemuan.



Sabtu, 27 November 2010

aq akan membuat kamu meminum boto itu.!
ops ...... salah maksudq meminum air dalam botol itu


anak-anak narsis




peace.............................!!!!!!!


kura-kura ninja

Sabtu, 16 Oktober 2010

PERKEMBANGAN USHUL FIQIH PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU

I. PENDAHULUAN

Cabang filsafat yang membahas masalah ilmu adalah filsafat ilmu. Tujannya mengadakan analisis mengenai ilmu pengetahuan dan cara bagaimana pengetahuan ilmiah itu diperoleh.

Sedangkan ushul fiqih adalah merupakan ilmu yang membahas tentang Ilmu pengetahuan dari hal kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dapat membawa kepada pengambilan hukum-hukum tentang amal perbuatan manusia dari dalil-dalil yang terperinci.

Sebagaimana kita ketahui bahwa nash-nash Alquran dan hadits terbatas jumlahnya, sedang peristiwa yang dihadapi manusia selalu timbul dengan tidak terbatas. Oleh karena itu tidak mungkin nash-nash yang terbatas jumlahnya itu mencukupi untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang terus terjadi, selagi tidak ada jalan untuk mengenal hukum peristiwa baru tanpa melalui ijtihad (salah satu ilmu mencari hukum dalam ushul fiqih).

Filsafat mempunyai hubungan yang baik dengan ilmu fiqih (ushul fiqih), dalam bentuk aktivitas, sebagai berikut:

1. Filsafat dan ilmu dapat membantu menyampaikan lebih lanjut ajaran syariah dan fiqih kepada manusia.

2. Filsafat membantu ushul fiqih dalam mengartikan (menginterpretasikan) teks-teks sucinya.

3. Filsafat membantu dalam memastikan arti objektif tulisan wahyu.

4. Filsafat menyediakan metode-metode pemikiran hukum.

5. Filsafat membantu agama dalam menghadapi masalah-masalah kontemporer.

6. Filsafat (kajian teori nilai) etika dapat merumuskan permasalahan etis sedemikian rupa, sehingga agama dapat menjawabnya berdasarkan prinsip-prinsip moralitas.[1]

II. DEFINISI FILSAFAT ILMU, ILMU PENGETAHUAN DAN ILMU USHUL FIQIH

A. Definisi Filsafat Ilmu

Filsafat ilmu dapat dibedakan menjadi dua arti, yaitu sebagai berikut:

a. Filsafat ilmu dalam arti luas: menampung permasalahan yang menyangkut hubungan keluar dari kegiatan ilmiah.

b. Filsafat ilmu dalam arti sempit: menampung permasalahan yang bersangkutan dengan hubungn kedalam yang terdapat didalam ilmu, yaitu yang menyangkut sifat pengetahuan ilmiah, dan cara-cara mengusahakan serta mencapai pengetahuan ilmiah

Karena luasnya lingkungan pembahasan filsafat ilmu, maka banyak sekali berbagai definisi filsafat ilmu, diantaranya yaitu:[2]

Robert Ackermann: filsafat ilmu adalah sebuah tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini yang dibanding dengan pendapat-pendapat terdahulu yang telah dibuktikan.

Lewis White Beck: filsafat ilmu adalah mempertanyakan dan menilai metode-metode pemikiran ilmiah, serta mencoba menetapkan nilai dan pentingnya usaha ilmiahsebagai suatu keseluruhan.

Cornelius Benjamin: filsafat ilmu merupakan cabang pengetahuan filsafati yang menelaah sistematis mengenai sifat dasar ilmu, metode-metodenya, konsep-konsepnya dan peranggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang pengetahuan intelektual.

May Brodbeck: filsafat imu itu sebagai analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan, dan penjelasan mengenai landasan-landasan ilmu.

B. Definisi Ilmu Pengetahuan

Istilah ilmu pengetahuan diambil dari bahasa inggris science, yang berasal dari bahasa latin scientia dari bentuk kata kerja sciere yang berarti mempelajari, mengetahui.

The Liang Gie (1987), pengertian ilmu pengetahuan adalah rangkaian aktifitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia.[3]

Afanasyef, seorang ahli pikir marxist berkebangsaan Rusia menuliskan sebagai berikut: “science is the system of man’s knowledge on nature society and trought. It reflect the world in concepts, categoriesand law, the correctness and truth of which are verified by practical experience.” (ilmu pengetahuan adalah pengetahuan manusia tentang alam, masyarakat dan pikiran. Ia mencerminkan alam dalam konsep-konsep, kategori-kategori dan hukum-hukum yang ketepatannya dan kebenarannya diuji dengan pengalaman praktis).[4]

Adapun menurut bahm, definisi ilmu pengetahuan melibatkan paling tidak enam macam komponen, yaitu masalah (problem), sikap (attitude), metode (method), aktifitas (activity), kesimpulan (conclusion), dan pengaruh (effects).[5]

C. Definisi Ushul Fiqih

Sebelum kita mengetahui apa itu ushul fiqih kita perlu tahu terlebih dahulu apa itu agama atau lebih jelasnya ilmu agama terlebih dahulu. Agama berarti mengapdi atau bisa diartikan sebagai seorang manusia yang mengapdikan dirinya kepada tuhan dengan perantara hati dan penuh rasa cinta.[6]

Definisi lain mengatakan bahwa agama adalah nilai-nilai panutan yang memberi pedoman pada tingkah laku manusia serta pandangan hidupnya; sedangkan ilmu adalah sesuatu hasil yang dicapai oleh manusia berkat bekal kemampuan-kemampuannya sebagai anugerah dari Allah yang maha pencipta.[7]

Dan ilmu ushul fiqih ialah kaidah-kaidah yang dipergunakan mujtahid untuk mengistinbathkan hukum syar’i yang amali dari dalil-dalilnya yang tafsili.[8]

Sedangkan menurut pendapat Abd Wahab Khallaf, ushul fiqih adalah ilmu pengetahuan tentang kaidah dan bahasa yang dijadikan acuan dalam menetapkan hukum syariat mengenai perbuatan manusia berdasarkan dalil-dalil secara detail. Dengan ringkas kata, ushul fiqih adalah ilmu tentang dasar-dasar hukum dalam Islam.[9]

III. TUJUAN MEMPELAJARI FILSAT ILMU DAN USHUL FIQIH

Filsafat ilmu secara umum menganduang tujuan-tujuan sebagai berikut:[10]

Pertama: filsafat ilmu sebagai pengujian penalaran ilmiah, sehingga orang menjadi kritis terhadap kegiatang ilmiah.

Kedua: filsafat ilmu merupakan usaha merefleksi, menguji, mengkriyik asumsi dan metode keilmuan.

Ketiga: filsafat ilmu memberikan pendasaran logis terhadap metode keilmuan.

Sedangkan tujuan mempelajari ushul fiqih dapat dikategorikan ke dalam dua tujuan utama, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Secara umum, mempelajari ushul fiqih adalah untuk mengetahui dan dapat menggunakan cara-cara ber-is-tinbathd dengan menerapkan kaidah-kaidah ushuliyyah dan teori-teorinya terhadap dalil-dalil yang tafshily agar hukum syara’ diketahui dengan baik, dengan jalan yakin ataupun dengan jalan Zhann. Adapun secara khusus, dengan mempelajari ushul fiqih, kita dapat mengembalikan masalah-masalah cabang kepada asalnya (muthabi’).[11]

IV. BIDANG KAJIAN FILSAFAT ILMU

Bidang kajian dalam filsafat ilmu itu ada tiga, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi adapun pengertian penjelasan dari ketiga tersebut ialah sebagai berikut:

1. Ontologi

Ontologi berasal dari bahasa Yunani on atau ontos (ada, kebenaran), dan logos (ilmu), yang berarti “teorimengenai ada yang berada”.[12]

Obyek kajian ushul fiqh adalah dalil-dalil syara’ yang umum (al-adillah al-syar’iyyah), yang menurut al-Gazali, dapat diperinci menjadi empat hal utama; pertama, buah ilmu ushul fiqh ini (al-tsamarah) yang meliputi hukum-hukum dan yang berkaitan dengannya. Kedua, pemberi buah (mutsmirah) yang meliputi dalil-dalil umum, seperti: al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’, dan qiyas. Ketiga, metode pengambilan buah (thuruq al-istitsmar) yang meliputimetode kebahasaan dan metode kema’naan. Keempat, pengambil buah (al-mutsmir) yang meliputi kreteria orang yang berhak diebut mujtahid.[13]

2. Epistemologi

Didalam buku Louis O. Kattsoff, menjelaskan bahwa epistemologi ialah cabang filsafat yang menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode dan sahnya pengetahuan.[14]

Dalam ranah pemikiran Islam, al-Jabari, membagi epistemologi Islam dalam ushul fiqih secara umum, menjadi tiga kecendrungan yaitu; pertama: epistemologi irfani, yaitu suatu proses bernalar yang berdasarkan diri pada ilham atau kasyf sebagai sumber pengetahuan. Kedua: epistemologi burhani, yaitu epitemologi yang berpandangan bahwa sumber pengetahuan adalah akal. Ketiga: epistemologi bayani, yaitu epistemologi yang beranggapan bahwa sumber ilmu pengetahuan yang hakiki adalah teks-teks agama (al-Qur’an dan al-Hadits) yang sudah barang tentu menggunakan bahasa Arab.[15]

Berdasarkan ketiga epistemologi dalam pemikiran Islam ini, maka jelas bahwa epistemologi yang digunakan dalam ushul fiqih adalah epistemologi bayani. Artinya pengambilan pengetahuan-pengetahuan ushul fiqih bersumber pada otoritas teks al-Qur’an dan Hadits.

3. Aksiologi

Aksiologi berasal dari bahasa Yunani axios (pantas) dan logos (ilmu), yang berarti studi filosofis yang menyangkut teori ilmu tentang nilai atau studi tentang hakekat nilai-nilai.[16]

Berkaitan dengan ushul fiqih, maka aksiologi atau fungsinya adalah membimbing manusia dalam menangkap maksud tuhan secara benar.

V. PERKEMBANGAN USHUL FIQIH PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU

1. Sumber Hukum Dalam Ushul Fiqih

Sumber hukum dalam ushul fiqih diantaranya adalah:

a. Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantara malaikat jibril sebagai hujjah (argumentasi) baginya dalam mendakwahkan kerasulannya dan menjadi pedoman hidup bagi manusia yang dapat dipergunakan untuk mencari kebahagian hidup didunia atau diakhirat serta sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan membacanya, diturunkan dalam bahasa Arab dan membacaranya merupakan ibadah.[17] Dan al-Qur’an menjadi sumber hukum yang pertama.

b. As-Sunnah

Menurut istilah as-Sunnah ialah sesuatu yang datang dari Rasulullah baik ucapan, perbuatan, taqrir (persetujuan). Dan kedudukannya adalah sebagai hujjah dan merupakan dasar hukum yang kedua setelah al-Qur’an.[18]

c. Ijma’

Ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid dari kaum muslimin pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW atas suatu hukum syara’ dalam suatu kasus tertentu.[19]

d. Qiyas

Qiyas adalah menghubungkan sesuatu urusan yang tak ada nashnya baik dari al-Qur’an maupun sunnah dengan yang dinashkan hukumnya karena bersekutu tentang illat yang karenanya disyariatkan hukum.[20]

2. Cara Pengambilan Hukum yang Dilakukan Seorang Mujtahid

Sudah diakui didalam sejarah peradaban, bahwa perkembangan masyarakat dan pendapat umum adalah lebih cepat jalannya dari pada hukum, baik dalam perubahan ataupun dalam pergantiannya. Banyak bangsa kita yang kita ketahui mereka dapat memelihara dengan baik hukum yang lama, akan tetapi disamping itu kepentingan kehidupan masyarakat menuntut perubahan yang lebih sesuai dan lebih mendekatkan antara teori dengan kenyataan-kenyataan praktis.[21]

Dan untuk itu kita perlu menerapkan kaidah-kaidah pada dalil secara benar, yang harus dilakukan oleh orang-orang ahlinya. Orang yang ahli itu disebut sebagai mujtahid.[22]

Syarat dalam menafsirkan agama, menetapkan hukum-hukum, dan menjelaskan makna-maknanya bukanlah harus dari kalangan pendeta atau rahib, akan tetapi siapapun bisa, asal memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni dalam bidang ini dan tunduk pada aturan metodologi yang melingkupinya serta berijtihad dalam kerangka ushul dan furu’.[23]

Dan adapun posisi ijtihad dalam ilmu pengetahuan adalah menentukan dan penting disamping permasalahan itu sendiri. Oleh karena itu perlu kehati-hatian, keseriusan, dan keahlian dalam bidangnya. Barang siapa yang tidak memenuhi kreteria ini perlu menyadari keterbatasan kemampuan dirinya, dan tidak memaksa diri diluar batas kemampuan.[24]

Cara pengambilan hukum yaitu apabila kita mendapatkan masalah-masalah baru, kemudian kita mencari dasar hukumnya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, apabila sudah diketahui atau sudah didapatkan hukumnya secara jelas maka permasalahan selesai. Namun apabila belum diketahui maka perlu mencari hukum tersebut melalui jalan Ijma’ ataupun Qiyas.

3. Hasil Dari Pengambilan Hukum yang Dilakukan Seorang Mujtahid

Hasil akhir dari pencarian yang dilakukan oleh mujtahid adalah hukum-hukum syara’. Karena adanya hukum itu berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan, atau bentuk ketetapan. Para ahli ushul fiqih memberi istilah pada hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan atau dengan pilihan disebut dengan Hukum Taklifi, dan hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk ketetapan disebut dengan hukum wadh’i.

a. Hukum taklifi

Hukum taklifi ialah hukum yang menuntut kepada mukalaf untuk berbuat, menuntut untuk tidak berbuat, atau menghendaki mukalaf memilih antara berbuat atau tidak.[25] Hukum taklifi dibagi menjadi lima, yaitu:[26]

1) Wajib adalah apa yang dituntut oleh syara’ kepa mukalaf untuk memperbuatnya dalam tuntutan keras.

2) Sunnah adalah suatu yang dituntut syara’ memperbuatnya dari mukalaf, namun tuntutannya tidak begitu keras.

3) Haram adalah apa yang dituntut oleh syara’ untuk tidak melakukannya dengan tuntutan keras.

4) Mukruh adalah apa yang dituntut syara’ untuk meninggalkannya namun tidak begitu keras.

5) Mubah adalah apa yang diberikan kebebasan kepada para mukalaf untuk memilih antara memperbuat atau meninggalkannya.

b. Hukum wadh’i

Hukum wadh’i adalah hukum yang hanya menjelaskan sesuatu baik sebab, syarat, atau mani’(tidak ada penghalang) dan tidak selamanya ada dalam kemampuan mukallaf.[27]

VI. KESIMPULAN

Dari penjelasan diatas pemakalah dapat menyimpulkan sebagai berikut:

1. Filsafat ilmu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut:

a. Filsafat ilmu dalam arti luas: menampung permasalahan yang menyangkut hubungan keluar dari kegiatan ilmiah.

b. Filsafat ilmu dalam arti sempit: menampung permasalahan yang bersangkutan dengan hubungn kedalam yang terdapat didalam ilmu

2. pengertian ilmu pengetahuan adalah rangkaian aktifitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia

3. Ilmu ushul fiqih ialah kaidah-kaidah yang dipergunakan mujtahid untuk mengistinbathkan hukum syar’i yang amali dari dalil-dalilnya yang tafsili.

4. Tujuan dari mempelajari filsafat ilmu ialah pengujian penalaran ilmiah, usaha merefleksi, menguji, mengkriyik asumsi dan metode keilmuan, memberikan pendasaran logis terhadap metode keilmuan.

5. Tujuan mempelajari ushul fiqih adalah untuk mengetahui dan dapat menggunakan cara-cara ber-is-tinbathd dengan menerapkan kaidah-kaidah ushuliyyah dan teori-teorinya terhadap dalil-dalil yang tafshily agar hukum syara’ diketahui dengan baik.

6. Bidang kajian dalam filsafat ilmu itu ada tiga, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

7. Sumber hukum dalam ushul fiqih diantaranya adalah: al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.

8. Cara pengambilan hukum yaitu apabila kita mendapatkan masalah-masalah baru, kemudian kita mencari dasar hukumnya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, apabila sudah diketahui atau sudah didapatkan hukumnya secara jelas maka permasalahan selesai. Namun apabila belum diketahui maka perlu mencari hukum tersebut melalui jalan Ijma’ ataupun Qiyas.

9. Hasil akhir dari pencarian yang dilakukan oleh mujtahid adalah hukum-hukum syara’.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Raysuni, Ahmad dan Muhammad Jamal Barut. Ijtihad antara Teks, Realitas, dan Kemaslahatan Sosial. terj. Ibnu Rusydi dan Hayyin Muhdzar. Jakarta: Erlangga. 2002

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Penantar Ilmu Fiqih. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 1999

Assegaf, Abdul Rachmad. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2011

Dahlan, Abd Rahman. Ushul Fiqih. Jakarta: Amzah. 2010

Djazuli dan Nurol Aen. Ushul Fiqih. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2000

Ihsan, H.A. Fuad. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka Ilmu. 2010

Karim, Syafi’i. Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setya. 1997

Kattsoff, Louis O.. Pengantar Filsafat. terj. Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2004

Khallaf, Abd Wahab. Ilmu Ushul Fiqih. terj. Masydar Helmy, Bandung: Gema Risalah Press. 1996

. Ilmu Ushul Fiqh (Kaidah Hukum Islam). Jakarta: Pustaka Amani. 2003

Mahmassani, Sobhi. Filsafat Hukum dalam Islam. terj. Ahmad Sudjono. Bandung: al-Ma’arif. 1976

Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, t.t

Poerwantana dkk. Seluk-Beluk Filsafat Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. t.t

Roy, Muhammad. Ushul Fiqih Madzhab Aristoteles. Yogyakarta: Safira Insania Press. 2004

Salam, Burhanuddin. Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara. 2008

Sirajuddin. Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004

Yahya, Mukhtar dan Fathurrahman. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam. Bandung: al-Ma’arif. 1986



[1] Syahrul Anwar, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 25

[2]Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, t.t), hlm. 49

[3] H.A. Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rineka Ilmu, 2010), hlm. 108-110

[4] Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 10

[5] H.A. Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rineka Ilmu, 2010), hlm. 108-110

[6] Poerwantana dkk, Seluk-Beluk Filsafat Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, t.t), hlm. 13

[7] Abdul Rachmad Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 89

[8] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Penantar Ilmu Fiqih, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 163

[9] Sirajuddin, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 28

[10] Rizal mustansyir dan misnal munir, Op. Cit, hlm. 51-52

[11]Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqih, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 12

[12] Istilah “ontologi” ini muncul pada abad ke-17, diperkenalkan oleh Gocnelius tahun 1636, dan digunakan oleh Clauberg pada tahun 1647, micraelius pada tahun 1653, dan oleh Du Hamel pada tahun 1663.

[13]Muhammad Roy, Ushul Fiqih Madzhab Aristoteles, (Yogyakarta: Safira Insania Press, 2004), hlm. 23

[14]Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), hlm. 74

[15] Muhammad Roy, Op. Cit, hlm. 25-26

[16] Muhammad Roy, Ibid, hlm. 27

[17]Mukhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1986), hlm. 31

[18]Abd Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, terj. Masydar Helmy, (Bandung: Gema Risalah Press, 1996), hlm. 66

[19]Syahrul Anwar, Op. Cit, hlm. 89

[20]Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidiqy, Op. Cit, hlm. 189

[21] Sobhi Mahmassani, Filsafat Hukum dalam Islam, terj. Ahmad Sudjono, (Bandung: al-Ma’arif, 1976), hlm. 237

[22] Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqih, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 17

[23] Ahmad al-Raysuni dan Muhammad Jamal Barut, Ijtihad antara Teks, Realitas, dan Kemaslahatan Sosial,terj. Ibnu Rusydi dan Hayyin Muhdzar, (Jakarta: Erlangga, 2002), hlm. 8

[24] Ahmad al-Raysuni dan Muhammad Jamal Barut, Ibid, hlm. 9

[25] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Kaidah Hukum Islam), (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm. 138-139

[26]Syafi’i Karim, Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setya, 1997), hlm. 92-104

[27] Djazuli dan Nurol Aen, Op.Cit, hlm. 19