PERKEMBANGAN USHUL FIQIH PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU
I. PENDAHULUAN
Cabang filsafat yang membahas masalah ilmu adalah filsafat ilmu. Tujannya mengadakan analisis mengenai ilmu pengetahuan dan cara bagaimana pengetahuan ilmiah itu diperoleh.
Sedangkan ushul fiqih adalah merupakan ilmu yang membahas tentang Ilmu pengetahuan dari hal kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dapat membawa kepada pengambilan hukum-hukum tentang amal perbuatan manusia dari dalil-dalil yang terperinci.
Sebagaimana kita ketahui bahwa nash-nash Alquran dan hadits terbatas jumlahnya, sedang peristiwa yang dihadapi manusia selalu timbul dengan tidak terbatas. Oleh karena itu tidak mungkin nash-nash yang terbatas jumlahnya itu mencukupi untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang terus terjadi, selagi tidak ada jalan untuk mengenal hukum peristiwa baru tanpa melalui ijtihad (salah satu ilmu mencari hukum dalam ushul fiqih).
Filsafat mempunyai hubungan yang baik dengan ilmu fiqih (ushul fiqih), dalam bentuk aktivitas, sebagai berikut:
1. Filsafat dan ilmu dapat membantu menyampaikan lebih lanjut ajaran syariah dan fiqih kepada manusia.
2. Filsafat membantu ushul fiqih dalam mengartikan (menginterpretasikan) teks-teks sucinya.
3. Filsafat membantu dalam memastikan arti objektif tulisan wahyu.
4. Filsafat menyediakan metode-metode pemikiran hukum.
5. Filsafat membantu agama dalam menghadapi masalah-masalah kontemporer.
6. Filsafat (kajian teori nilai) etika dapat merumuskan permasalahan etis sedemikian rupa, sehingga agama dapat menjawabnya berdasarkan prinsip-prinsip moralitas.[1]
II. DEFINISI FILSAFAT ILMU, ILMU PENGETAHUAN DAN ILMU USHUL FIQIH
A. Definisi Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu dapat dibedakan menjadi dua arti, yaitu sebagai berikut:
a. Filsafat ilmu dalam arti luas: menampung permasalahan yang menyangkut hubungan keluar dari kegiatan ilmiah.
b. Filsafat ilmu dalam arti sempit: menampung permasalahan yang bersangkutan dengan hubungn kedalam yang terdapat didalam ilmu, yaitu yang menyangkut sifat pengetahuan ilmiah, dan cara-cara mengusahakan serta mencapai pengetahuan ilmiah
Karena luasnya lingkungan pembahasan filsafat ilmu, maka banyak sekali berbagai definisi filsafat ilmu, diantaranya yaitu:[2]
Robert Ackermann: filsafat ilmu adalah sebuah tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini yang dibanding dengan pendapat-pendapat terdahulu yang telah dibuktikan.
Lewis White Beck: filsafat ilmu adalah mempertanyakan dan menilai metode-metode pemikiran ilmiah, serta mencoba menetapkan nilai dan pentingnya usaha ilmiahsebagai suatu keseluruhan.
Cornelius Benjamin: filsafat ilmu merupakan cabang pengetahuan filsafati yang menelaah sistematis mengenai sifat dasar ilmu, metode-metodenya, konsep-konsepnya dan peranggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang pengetahuan intelektual.
May Brodbeck: filsafat imu itu sebagai analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan, dan penjelasan mengenai landasan-landasan ilmu.
B. Definisi Ilmu Pengetahuan
Istilah ilmu pengetahuan diambil dari bahasa inggris science, yang berasal dari bahasa latin scientia dari bentuk kata kerja sciere yang berarti mempelajari, mengetahui.
The Liang Gie (1987), pengertian ilmu pengetahuan adalah rangkaian aktifitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia.[3]
Afanasyef, seorang ahli pikir marxist berkebangsaan Rusia menuliskan sebagai berikut: “science is the system of man’s knowledge on nature society and trought. It reflect the world in concepts, categoriesand law, the correctness and truth of which are verified by practical experience.” (ilmu pengetahuan adalah pengetahuan manusia tentang alam, masyarakat dan pikiran. Ia mencerminkan alam dalam konsep-konsep, kategori-kategori dan hukum-hukum yang ketepatannya dan kebenarannya diuji dengan pengalaman praktis).[4]
Adapun menurut bahm, definisi ilmu pengetahuan melibatkan paling tidak enam macam komponen, yaitu masalah (problem), sikap (attitude), metode (method), aktifitas (activity), kesimpulan (conclusion), dan pengaruh (effects).[5]
C. Definisi Ushul Fiqih
Sebelum kita mengetahui apa itu ushul fiqih kita perlu tahu terlebih dahulu apa itu agama atau lebih jelasnya ilmu agama terlebih dahulu. Agama berarti mengapdi atau bisa diartikan sebagai seorang manusia yang mengapdikan dirinya kepada tuhan dengan perantara hati dan penuh rasa cinta.[6]
Definisi lain mengatakan bahwa agama adalah nilai-nilai panutan yang memberi pedoman pada tingkah laku manusia serta pandangan hidupnya; sedangkan ilmu adalah sesuatu hasil yang dicapai oleh manusia berkat bekal kemampuan-kemampuannya sebagai anugerah dari Allah yang maha pencipta.[7]
Dan ilmu ushul fiqih ialah kaidah-kaidah yang dipergunakan mujtahid untuk mengistinbathkan hukum syar’i yang amali dari dalil-dalilnya yang tafsili.[8]
Sedangkan menurut pendapat Abd Wahab Khallaf, ushul fiqih adalah ilmu pengetahuan tentang kaidah dan bahasa yang dijadikan acuan dalam menetapkan hukum syariat mengenai perbuatan manusia berdasarkan dalil-dalil secara detail. Dengan ringkas kata, ushul fiqih adalah ilmu tentang dasar-dasar hukum dalam Islam.[9]
III. TUJUAN MEMPELAJARI FILSAT ILMU DAN USHUL FIQIH
Filsafat ilmu secara umum menganduang tujuan-tujuan sebagai berikut:[10]
Pertama: filsafat ilmu sebagai pengujian penalaran ilmiah, sehingga orang menjadi kritis terhadap kegiatang ilmiah.
Kedua: filsafat ilmu merupakan usaha merefleksi, menguji, mengkriyik asumsi dan metode keilmuan.
Ketiga: filsafat ilmu memberikan pendasaran logis terhadap metode keilmuan.
Sedangkan tujuan mempelajari ushul fiqih dapat dikategorikan ke dalam dua tujuan utama, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Secara umum, mempelajari ushul fiqih adalah untuk mengetahui dan dapat menggunakan cara-cara ber-is-tinbathd dengan menerapkan kaidah-kaidah ushuliyyah dan teori-teorinya terhadap dalil-dalil yang tafshily agar hukum syara’ diketahui dengan baik, dengan jalan yakin ataupun dengan jalan Zhann. Adapun secara khusus, dengan mempelajari ushul fiqih, kita dapat mengembalikan masalah-masalah cabang kepada asalnya (muthabi’).[11]
IV. BIDANG KAJIAN FILSAFAT ILMU
Bidang kajian dalam filsafat ilmu itu ada tiga, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi adapun pengertian penjelasan dari ketiga tersebut ialah sebagai berikut:
1. Ontologi
Ontologi berasal dari bahasa Yunani on atau ontos (ada, kebenaran), dan logos (ilmu), yang berarti “teorimengenai ada yang berada”.[12]
Obyek kajian ushul fiqh adalah dalil-dalil syara’ yang umum (al-adillah al-syar’iyyah), yang menurut al-Gazali, dapat diperinci menjadi empat hal utama; pertama, buah ilmu ushul fiqh ini (al-tsamarah) yang meliputi hukum-hukum dan yang berkaitan dengannya. Kedua, pemberi buah (mutsmirah) yang meliputi dalil-dalil umum, seperti: al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’, dan qiyas. Ketiga, metode pengambilan buah (thuruq al-istitsmar) yang meliputimetode kebahasaan dan metode kema’naan. Keempat, pengambil buah (al-mutsmir) yang meliputi kreteria orang yang berhak diebut mujtahid.[13]
2. Epistemologi
Didalam buku Louis O. Kattsoff, menjelaskan bahwa epistemologi ialah cabang filsafat yang menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode dan sahnya pengetahuan.[14]
Dalam ranah pemikiran Islam, al-Jabari, membagi epistemologi Islam dalam ushul fiqih secara umum, menjadi tiga kecendrungan yaitu; pertama: epistemologi irfani, yaitu suatu proses bernalar yang berdasarkan diri pada ilham atau kasyf sebagai sumber pengetahuan. Kedua: epistemologi burhani, yaitu epitemologi yang berpandangan bahwa sumber pengetahuan adalah akal. Ketiga: epistemologi bayani, yaitu epistemologi yang beranggapan bahwa sumber ilmu pengetahuan yang hakiki adalah teks-teks agama (al-Qur’an dan al-Hadits) yang sudah barang tentu menggunakan bahasa Arab.[15]
Berdasarkan ketiga epistemologi dalam pemikiran Islam ini, maka jelas bahwa epistemologi yang digunakan dalam ushul fiqih adalah epistemologi bayani. Artinya pengambilan pengetahuan-pengetahuan ushul fiqih bersumber pada otoritas teks al-Qur’an dan Hadits.
3. Aksiologi
Aksiologi berasal dari bahasa Yunani axios (pantas) dan logos (ilmu), yang berarti studi filosofis yang menyangkut teori ilmu tentang nilai atau studi tentang hakekat nilai-nilai.[16]
Berkaitan dengan ushul fiqih, maka aksiologi atau fungsinya adalah membimbing manusia dalam menangkap maksud tuhan secara benar.
V. PERKEMBANGAN USHUL FIQIH PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU
1. Sumber Hukum Dalam Ushul Fiqih
Sumber hukum dalam ushul fiqih diantaranya adalah:
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantara malaikat jibril sebagai hujjah (argumentasi) baginya dalam mendakwahkan kerasulannya dan menjadi pedoman hidup bagi manusia yang dapat dipergunakan untuk mencari kebahagian hidup didunia atau diakhirat serta sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan membacanya, diturunkan dalam bahasa Arab dan membacaranya merupakan ibadah.[17] Dan al-Qur’an menjadi sumber hukum yang pertama.
b. As-Sunnah
Menurut istilah as-Sunnah ialah sesuatu yang datang dari Rasulullah baik ucapan, perbuatan, taqrir (persetujuan). Dan kedudukannya adalah sebagai hujjah dan merupakan dasar hukum yang kedua setelah al-Qur’an.[18]
c. Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid dari kaum muslimin pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW atas suatu hukum syara’ dalam suatu kasus tertentu.[19]
d. Qiyas
Qiyas adalah menghubungkan sesuatu urusan yang tak ada nashnya baik dari al-Qur’an maupun sunnah dengan yang dinashkan hukumnya karena bersekutu tentang illat yang karenanya disyariatkan hukum.[20]
2. Cara Pengambilan Hukum yang Dilakukan Seorang Mujtahid
Sudah diakui didalam sejarah peradaban, bahwa perkembangan masyarakat dan pendapat umum adalah lebih cepat jalannya dari pada hukum, baik dalam perubahan ataupun dalam pergantiannya. Banyak bangsa kita yang kita ketahui mereka dapat memelihara dengan baik hukum yang lama, akan tetapi disamping itu kepentingan kehidupan masyarakat menuntut perubahan yang lebih sesuai dan lebih mendekatkan antara teori dengan kenyataan-kenyataan praktis.[21]
Dan untuk itu kita perlu menerapkan kaidah-kaidah pada dalil secara benar, yang harus dilakukan oleh orang-orang ahlinya. Orang yang ahli itu disebut sebagai mujtahid.[22]
Syarat dalam menafsirkan agama, menetapkan hukum-hukum, dan menjelaskan makna-maknanya bukanlah harus dari kalangan pendeta atau rahib, akan tetapi siapapun bisa, asal memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni dalam bidang ini dan tunduk pada aturan metodologi yang melingkupinya serta berijtihad dalam kerangka ushul dan furu’.[23]
Dan adapun posisi ijtihad dalam ilmu pengetahuan adalah menentukan dan penting disamping permasalahan itu sendiri. Oleh karena itu perlu kehati-hatian, keseriusan, dan keahlian dalam bidangnya. Barang siapa yang tidak memenuhi kreteria ini perlu menyadari keterbatasan kemampuan dirinya, dan tidak memaksa diri diluar batas kemampuan.[24]
Cara pengambilan hukum yaitu apabila kita mendapatkan masalah-masalah baru, kemudian kita mencari dasar hukumnya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, apabila sudah diketahui atau sudah didapatkan hukumnya secara jelas maka permasalahan selesai. Namun apabila belum diketahui maka perlu mencari hukum tersebut melalui jalan Ijma’ ataupun Qiyas.
3. Hasil Dari Pengambilan Hukum yang Dilakukan Seorang Mujtahid
Hasil akhir dari pencarian yang dilakukan oleh mujtahid adalah hukum-hukum syara’. Karena adanya hukum itu berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan, atau bentuk ketetapan. Para ahli ushul fiqih memberi istilah pada hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan atau dengan pilihan disebut dengan Hukum Taklifi, dan hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk ketetapan disebut dengan hukum wadh’i.
a. Hukum taklifi
Hukum taklifi ialah hukum yang menuntut kepada mukalaf untuk berbuat, menuntut untuk tidak berbuat, atau menghendaki mukalaf memilih antara berbuat atau tidak.[25] Hukum taklifi dibagi menjadi lima, yaitu:[26]
1) Wajib adalah apa yang dituntut oleh syara’ kepa mukalaf untuk memperbuatnya dalam tuntutan keras.
2) Sunnah adalah suatu yang dituntut syara’ memperbuatnya dari mukalaf, namun tuntutannya tidak begitu keras.
3) Haram adalah apa yang dituntut oleh syara’ untuk tidak melakukannya dengan tuntutan keras.
4) Mukruh adalah apa yang dituntut syara’ untuk meninggalkannya namun tidak begitu keras.
5) Mubah adalah apa yang diberikan kebebasan kepada para mukalaf untuk memilih antara memperbuat atau meninggalkannya.
b. Hukum wadh’i
Hukum wadh’i adalah hukum yang hanya menjelaskan sesuatu baik sebab, syarat, atau mani’(tidak ada penghalang) dan tidak selamanya ada dalam kemampuan mukallaf.[27]
VI. KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas pemakalah dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1. Filsafat ilmu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
a. Filsafat ilmu dalam arti luas: menampung permasalahan yang menyangkut hubungan keluar dari kegiatan ilmiah.
b. Filsafat ilmu dalam arti sempit: menampung permasalahan yang bersangkutan dengan hubungn kedalam yang terdapat didalam ilmu
2. pengertian ilmu pengetahuan adalah rangkaian aktifitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia
3. Ilmu ushul fiqih ialah kaidah-kaidah yang dipergunakan mujtahid untuk mengistinbathkan hukum syar’i yang amali dari dalil-dalilnya yang tafsili.
4. Tujuan dari mempelajari filsafat ilmu ialah pengujian penalaran ilmiah, usaha merefleksi, menguji, mengkriyik asumsi dan metode keilmuan, memberikan pendasaran logis terhadap metode keilmuan.
5. Tujuan mempelajari ushul fiqih adalah untuk mengetahui dan dapat menggunakan cara-cara ber-is-tinbathd dengan menerapkan kaidah-kaidah ushuliyyah dan teori-teorinya terhadap dalil-dalil yang tafshily agar hukum syara’ diketahui dengan baik.
6. Bidang kajian dalam filsafat ilmu itu ada tiga, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
7. Sumber hukum dalam ushul fiqih diantaranya adalah: al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.
8. Cara pengambilan hukum yaitu apabila kita mendapatkan masalah-masalah baru, kemudian kita mencari dasar hukumnya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, apabila sudah diketahui atau sudah didapatkan hukumnya secara jelas maka permasalahan selesai. Namun apabila belum diketahui maka perlu mencari hukum tersebut melalui jalan Ijma’ ataupun Qiyas.
9. Hasil akhir dari pencarian yang dilakukan oleh mujtahid adalah hukum-hukum syara’.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Raysuni, Ahmad dan Muhammad Jamal Barut. Ijtihad antara Teks, Realitas, dan Kemaslahatan Sosial. terj. Ibnu Rusydi dan Hayyin Muhdzar. Jakarta: Erlangga. 2002
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Penantar Ilmu Fiqih. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 1999
Assegaf, Abdul Rachmad. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2011
Dahlan, Abd Rahman. Ushul Fiqih. Jakarta: Amzah. 2010
Djazuli dan Nurol Aen. Ushul Fiqih. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2000
Ihsan, H.A. Fuad. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka Ilmu. 2010
Karim, Syafi’i. Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setya. 1997
Kattsoff, Louis O.. Pengantar Filsafat. terj. Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2004
Khallaf, Abd Wahab. Ilmu Ushul Fiqih. terj. Masydar Helmy, Bandung: Gema Risalah Press. 1996
. Ilmu Ushul Fiqh (Kaidah Hukum Islam). Jakarta: Pustaka Amani. 2003
Mahmassani, Sobhi. Filsafat Hukum dalam Islam. terj. Ahmad Sudjono. Bandung: al-Ma’arif. 1976
Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, t.t
Poerwantana dkk. Seluk-Beluk Filsafat Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. t.t
Roy, Muhammad. Ushul Fiqih Madzhab Aristoteles. Yogyakarta: Safira Insania Press. 2004
Salam, Burhanuddin. Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara. 2008
Sirajuddin. Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004
Yahya, Mukhtar dan Fathurrahman. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam. Bandung: al-Ma’arif. 1986
[1] Syahrul Anwar, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 25
[2]Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, t.t), hlm. 49
[3] H.A. Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rineka Ilmu, 2010), hlm. 108-110
[4] Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 10
[5] H.A. Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rineka Ilmu, 2010), hlm. 108-110
[6] Poerwantana dkk, Seluk-Beluk Filsafat Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, t.t), hlm. 13
[7] Abdul Rachmad Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 89
[8] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Penantar Ilmu Fiqih, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 163
[9] Sirajuddin, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 28
[10] Rizal mustansyir dan misnal munir, Op. Cit, hlm. 51-52
[11]Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqih, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 12
[12] Istilah “ontologi” ini muncul pada abad ke-17, diperkenalkan oleh Gocnelius tahun 1636, dan digunakan oleh Clauberg pada tahun 1647, micraelius pada tahun 1653, dan oleh Du Hamel pada tahun 1663.
[13]Muhammad Roy, Ushul Fiqih Madzhab Aristoteles, (Yogyakarta: Safira Insania Press, 2004), hlm. 23
[14]Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), hlm. 74
[15] Muhammad Roy, Op. Cit, hlm. 25-26
[16] Muhammad Roy, Ibid, hlm. 27
[17]Mukhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1986), hlm. 31
[18]Abd Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, terj. Masydar Helmy, (Bandung: Gema Risalah Press, 1996), hlm. 66
[19]Syahrul Anwar, Op. Cit, hlm. 89
[20]Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidiqy, Op. Cit, hlm. 189
[21] Sobhi Mahmassani, Filsafat Hukum dalam Islam, terj. Ahmad Sudjono, (Bandung: al-Ma’arif, 1976), hlm. 237
[22] Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqih, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 17
[23] Ahmad al-Raysuni dan Muhammad Jamal Barut, Ijtihad antara Teks, Realitas, dan Kemaslahatan Sosial,terj. Ibnu Rusydi dan Hayyin Muhdzar, (Jakarta: Erlangga, 2002), hlm. 8
[24] Ahmad al-Raysuni dan Muhammad Jamal Barut, Ibid, hlm. 9
[25] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Kaidah Hukum Islam), (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm. 138-139
[26]Syafi’i Karim, Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setya, 1997), hlm. 92-104
[27] Djazuli dan Nurol Aen, Op.Cit, hlm. 19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar